Kamis, 03 Agustus 2017

Menata Hati Bersama Imam Al-Ghazali

Sabar. Itu poin pertama yang melekat di pikiran setelah membaca buku ini. Soalnya tadi sudah nulis banyak. Tulisannya tinggal beberapa kalimat. Tapi lantas hilang tak bersisa dan aku harus menulisnya kembali dari awal.


Sabar. Karena dalam Ali Imran ayat 186 tertulis di sana bahwa sabar adalah sikap utama yang harus dimiliki oleh orang yang bertakwa. Dan Imam Ghazali juga mengingatkan kita akan Surat Az-Zumar ayat 10 yaknk hanya orang-orang yang bersabarlah, yang Allah beri pahala tanpa batas.

Pun Rasulullah juga bersabda, la taghdab wa lakal jannah. Janganlah kamu marah surga untukmu.

Setimpal, karena menurut Ifa Avianty, Putri Salju yang baik hati bisa berubah sikapnya seperti ibu tiri kala marah. Menyeramkan sekali bukan.

Pangeran yang biasanya jadi pahlawan pun 180 derajat berbeda sikapnya kala marah. Laiknya penjahat kelas kakap yang kehausan darah. Ups, kayaknya ini berlebihan pemirsa.

Tapi jika itu fakta, kita tetap berharap orang-orang yang dikuasai amarah kembali lagi ke jalan yang benar.

Tips dari Rasulullah. Jadi jika kamu marah saat berdiri, duduklah. Berbaringlah jika belum juga reda. Lalu sholat dan membaca quran agar hati kembali tenang.

Perkara hati menjadi perhatian utama Imam Al-Ghazali. Karena jika hati nggak karuan. Sulitlah untuk bisa fokus beribadah. Keikhlasan berkurang. Mau qanaah rasanya susah dan bawaannya riya' melulu. Astaghfirullah.

Jadi apa gunanya beribadah selama 70 tahun jika hanya seperti mengisi ember bocor. Na'udzubillahi min dzalik.

Imam Ghazali mengajari kita untuk dzikrul minnah. Mengingat segala kekuasan Allah, kebesaranNya. Agar kita tidak takabbur. Untuk tidak thulul amal, alias lebih banyak berangan-angan daripada beribadah. Sholat tapi mikirin A-B sampai Z.

Itulah mengapa Imam Ghazali menempatkan hati sebagi porsi paling banyak untuk dibahas. Kita memang diperintahkan menjaga mata untuk tidak bermaksiat. Tapi dengan menutup pandangan jadilah sekeliling gelap. Lisan bisa berbicara banyak. Dengan mengatupkannya, berhentilah ia berkata-kata.

Namun hati, meski semua anggota badan diam tak bergerak. Hati bebas berkeliaran siang malam. Boleh berpikir apa saja.

Kita sebagai raja, tentulah sangat disarankan untuk bisa menata hati. Agar ia lebih condong pada Allah. Jadi kalau mau marah ingat Allah. Ingat surga yang dijanjikan. Ingat bahwa amarah itu hanya sementara dan sebentar lagi reda jika kita mengikuti saran-saran dari Rasulullah.

Ingat dampak amarah yang bisa saja membuat orang lain terluka. Bisa hati, bisa juga fisik. Hanya dikarenakan emosi yang tak terkendali. Allah, Allah, Allah!

Jangan karena Allah memberi kita lima emosi, maka marah pun dipakai dengan alasan biar tidak mubadzir. Duh.

Sebenarnya marah pun bisa diarahkan dengan baik. Misalnya marah dengan Israel yang menjajah Palestina bertahun-tahun. Marah dengan pemerintah yang pro Zionis contohnya. Seperti kata Asma Nadia, istilahnya, dendam positif.

Namun dibalik itu semua, aku masih bertanya-tanya, benarkah penulis buku ini Imam Al Ghazali? Soalnya beberapa kali tertulis kata penyusun di sana. Ada tulisan, "Imam Ghazali berkata..." di halaman 366.
Di sampul depan tertulis Imam Al Ghazali, namun di dalam buku tercantum Imam Al Ghazaly. Entah itu typo atau memang beda orang.

Hal menjanggal lainnya adalah ada beberapa hadits atau kisah yang sanad atau riwayatnya tidak dijelaskan dari siapa dan siapa. Tidak seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang fenomenal itu, beliau menyebut mana yang berstatus shahih, hasan bahkan yang gharib.

Terlepas dari itu. Yuk move on. Kalau belum bisa menata hati, bisa baca buku ini.

***
Judul: Minhajul Abidin: Petunjuk Ahli Ibadah
Penulis: Imam Al Ghazaly
Penerjemah: Abul Hiyadh
Penerbit: Mutiara Ilmu
Cetakan: Pertama Muharram 1416
Halaman: 390