Selasa, 19 Desember 2017

Romansa dan Budaya dalam Jane Austen's Sense and Sensibility

Romansa dan Budaya dalam Jane Austen's Sense and Sensibility

Cerita Sense and Sensibility terkesan lambat awalnya. Tokoh rekaan Jane Austen dikenalkan satu persatu dengan deskripstif di volume pertama. Sabar, itu pesan Mbak Ila ketika merekomendasikan sastra klasik ini. Alon-alon asal kelakon..

Terjemahannya enak. Ditambah setelah kuketahui salah satu translatornya adalah Prisca Primasari, one of my favourite author! Makin semangat deh bacanya. Novel-novel rekaan beliau yang ingin kukoleksi semuanya. Pertama berjumpa dengan beliau pada Will and Juliette (Lingkar Pena Publishing) dil tahun 2008. Vokalis rock and roll dan wanita Muslim, penderita rabun senja.

Karena nggak mungkin novel ini sangat begitu mengesankan hingga tak lekang oleh waktu meski ratusan tahun berlalu, jika ceritanya biasa-biasa saja. Maka dengan sabar aku menelusurinya bab demi bab.

Di volume dua, aku mulai nyaman mengikuti ritme --apalagi di volume tiga, saat alurnya semakin seru. Cara bacaku bisa memakai speed reading style. Tak lagi pelan. Aku mulai akrab dengan Marienne dan Elianor. Dua kakak beradik yang perlahan beranjak dewasa; perempuan yang mencoba mencari kisah sejati.

Muncullah Willoughby, Kolonel Brandon, dan Edward Ferras dalam kehidupan keduanya.

Kisah yang rumit karena ini terjadi di tahun 1811 (setidaknya ini tahun pertama kali Sense and Sensibility terbit). Waktu yang menunjukkan ketiadaan telepon genggam dan pesan hanya sampai melalui seorang pelayan. Sehingga kesalahpahaman dan prasangka biasa muncul dalam kelindan cerita mereka.

Undangan, pesta, dan gunjingan menjadi lifestyle yang biasa pada zaman itu.

"Aku ingin sekali mengundangmu dan adikmu. Maukah kalian datang dan menghabiskan waktu di Cleveland Natal ini? Katakan ya; dan datanglah selagi keluarga Wetson berkunjung ke tempat kami. Aku akan sangat gembira! Akan sangat menyenangkan!.." (Austen, 2016: 141).

Itu juga termasuk prestige dan cara membanggakan diri jika berhasil mengundang mereka serta menunjukkan kemewahan rumah pemiliknya. Hal itulah yang terpikir pertama kali oleh Mrs.Dashwood, ibunda Elianor ketika akan pindah rumah.

"Tapi aku berharap bisa menjamu banyak teman di sana. Kami bisa menyediakan  satu atau dua kamar; dan kalau teman-temanku tidak merasa repot bepergian sejauh itu untuk bertemu  untuk bertemu denganku, aku merasa sangat senang menyediakan tempat menginap." (Austen, 2016: 35).

Ramah-tamah dan basa-basi masih terlihat jelas dalam Sense and Sensibility rekaan Jane Aunsten ini. Novel yang telah beberapa kali diapdatasi ke film layar lebar.

Kasta dan takhta adalah hal yang sangat diperhatikan dalam pemilihan jodoh. Hal ini diterangkan Mrs. Ferras ketika Edward mengutarakan hubungannya dengan wanita.

"..Miss Morton putri seorang bangsawan dengan nilai tiga puluh ribu pound, sedangkan Miss Dashwood hanyalah seorang putri pria terhormat dengan kekayaan tak lebih dari tiga ribu pound..." (Austen, 2016: 452-453).

Memang sedari awal Fanny tak setuju hubungan anaknya dengan Elianor. Makin rumitlah jalan cerita ketika juga ada Lucy dalam kehidupan Edward. Ending-nya susah ditebak deh.

Tak hanya romansa, kulihat budaya yang masih melekat di zaman itu. Topi, seperti yang dibicarakan beruang dari pedalaman Peru dalam film Paddington, katanya dulu topi amat lekat dalam budaya Inggris. Namun sekarang sudah tergerus zaman. Dalam Sense and Sensibility ini topi muncul di halaman 429.

"Saya mengangkat topi, dan dia mengenal dan menyapa saya, lalu dia bertanya tentang Anda, Ma'am.."

Mengangkat topi adalah suatu cara untuk menyapa seseorang dengan penuh penghormatan. Seperti membungkuknya orang Jepang.

Juga kereta kuda sebagai alat transportasi mereka. Belum ada mobil ataupun pesawat. Jika tak ada kereta mereka akan bepergian dengan kuda atau berjalan kaki.

Nah latar Sense and Sensibilty-nya Jane Aunsten sangat aku sukai. Apalagi ketika berbicara tentang pedesaan. Aku membayangkannya seperti bukit-bukit di Skotlandia dan budaya yang mengelilingin. Tapi dalam cerita disebutkan bukit Allenham, tempat pertama kali bertemunya Marienne dan Willoughby.

***

Judul: Sense and Sensibility
Penulis: Jane Austen
Penerjemah: Prisca Primasari dan Linda Boentaram
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Enfira
Desain Sampul: AM Wantoro
Penerbit Qanita [Mizan]
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Halaman: 460

Sabtu, 16 Desember 2017

Pernyataan Sikap Anak-anak Palestina

Pernyataan Sikap Anak-anak Palestina
Zionis Yahudi telah menduduki Palestina sejak tahun 1948. Mereka datang menjajah dan memborbardir tanah air penduduk Palestina. Menghancurkan bangunan, dan membunuh kejam penduduknya.

"Aku juga gelisah dan takut karena pesawat-pesawat F-16, pesawat pengintai, dan pesawat Apache selalu menginspeksi kami, menghujani kami dengan bom fosfor yang mematikan, melempari kami dengan rudal dan mortir. Aku benci Zionis."
Yusuf, 11 tahun.

Palestina yang utuh telah terbagi menjadi dua. Kini ada negara Israel yang menduduki kota suci kita. Hanya sepetak kecil yang tersisa.

Palestina Kini.
90 anak-anak Palestina menyatakan sikapnya. Mereka menceritakan kondisi Palestina dalam buku ini: Surat Sahabat dari Palestina, Masih Adakah Harapan buat Kami? Anak-anak Palestina ini juga menuliskan perasaan, harapan mereka. Terlebih pada dunia internasional.

"Kepada masyarakat dunia aku meminta do'a dan dukungan. Doakan aku dan rakyat Palestina agar Allah meneguhkan kaki-kaki kami melawan musuh."
Alyan, 12 tahun.

Palestine will be free.

Anak-anak Palestina dengan rentang umur 7-18 tahun ini juga membisiki kita tentang cita-citanya. Mereka ingin membebaskan Palestina dari jajahan Israel dan menghafal Al-Quran. Tentu saja itu cita mereka yang paling utama.

Setiap anak menyebutkan mimpi-mimpi mereka. Majdi (8 th) ingin menjadi tentara pembela negara. Sama seperti Ahmad (9th) yang ingin menjadi mujahid Palestina. Dan kelak ketika besar, Umar (7th) ingin menjadi dokter agar dapat membantu saudara-saudaranya yang sakit dan cedera.

Tak hanya warga Palestina yang berduka cita, namun seluruh muslim dunia. Al Quds, Kiblat pertama muslim. Tempat Nabi Muhammad mengimami ratusan Nabi. Tempat Rasulullah berhenti sebelum pergi ke sidratul Muntaha bertemu Allah 'azza wa jalla.

Dan Al-Quds adalah milik kami dan bukan untuk dijadikan ibu kota Israel!

Dome of the Rock (kubah emas) dan Masjid Al-Aqsha (kubah hijau keabuan) di Yerussalem timur.

"Kalau aku sudah besar, aku bercita-cita untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha dan shalat di dalamnya. Aku juga bercita-cita menghancurkan  kekuatan Israel dan melenyapkan pendudukan Israel atas tanah tumpah darah kami di berbagai penjuru negeri Palestina. Semua itu kulakukan karena itulah hak kami. Kami hanya ingin mengambil hak kami, lain tidak..."
Sha'ib, 15 tahun.


***

Judul: Surat Sahabat dari Palestina, Masih Adakah Harapan buat Kami?
Penyusun: Komite Nasional untuk Rakyat Palestina
Penerjemah: Ali Ghufron dan Darsim Ermaya I.F.
Penerbit: PT Era Adicitra Intermedia
Cetakan: Kedua, Jumadat Tsani 1436
Halaman: 225 halaman

Selasa, 05 Desember 2017

Burlian si Anak Spesial

Burlian si Anak Spesial
Burlian si anak spesial, begitu Mamak, Bapak, Wak Yati, Bakwo Dar dan lingkungan memanggilnya. Bukan dengan sebutan ia si anak nakal atau pembangkang.

Anak-anak Mamak tumbuh dengan lingkungan positif. Julukan positif meskipun kadang harus diteriaki beberapa kali oleh Mamak baru mau menurut.

Amelia, si bungsu, si kuat. Burlian si anak spesial yang suka berpetualang. Pukat si anak pintar, pandai dan selalu bisa menjawab segala pertanyaan. Eliana si sulung yang pemberani, melindungi harta berharga kampung dari jarahan orang kota.

Setiap anak memiliki karakternya sendiri. Dalam Burlian, Tere Liye menegaskan bahwa ia adalah anak Mamak yang spesial. Walaupun 'bandel'nya luar biasa juga.

***

Mainan ala Anak-anak
Tak ada gawai, tentu saja. Mainan Burlian adalah otok-otok yang dibuat Pukat. Bisa saja mereka membelinya di pasar kecamatan, tapi apalah daya dompet yang tak beruang. Lagipula Pukat si pintar bisa membuatkannya dengan otak cemerlang.


Jika dalam Eliana, partner-nya melawan orang kota adalah Marhotap, Burlian memiliki karib yang bernama Ahmad. Teman yang sangat mahir bermain bola. Di lapangan bekas pabrik karet mereka bertanding di sana. Sangat seru. Orang sekampung menonton dan mengelu-elukan keduanya hingga peristiwa naas itu terjadi.

SDSB! Mainan yang dicoba Burlian ini membuat Mamak geram. Bahkan Nek Kiba di surau juga ikut turun tangan. Soalnya pemuda-pemuda kampung juga main. Burlian dibilangin juga nggak boleh tapi tetep aja cobacoba.

Main ala Burlian berarti mendekati yang terlarang. Ada untungnya juga, dia bisa bertemu dengan orang Jepang, meneropong bintang dan makan ayam hutan.

Nakamura-san yang membongkar bahwa makan di kasur itu tak apa asal dia tidak meninggalkan remah-remah. Membereskannya kembali sebelum Mamak mara-marah.

Berpetualang bersama Mang Unus
Serial anak Mamak lainnya pun melakukan hal serupa. Mang Unus adik kandung Mamak. Dengan motor trail, dibawanya secara bergantian anak Mamak ke tempat-tempat spesial di seluruh penjuru kampung.


Bersama Burlian, anak ketiga Mamak, mereka melewati hutan dan memasuki gubuk larangan. Ada 'putri mandi', 'harta berharga kampung' yang harus dilindungi dengan cerita seram dan bumbubumbunya.

Tapi Mang Unus membongkarnya rahasia tersebut. 'Putri mandi' yang langka, di tempat seram; gubuk larangan.

Memperjuangkan Pak Bin
Pak Bin, guru satu-satunya di sekolah. Eliana, Pukat, Burlian dan Amelia diajari oleh guru yang sama, Pak Bin. Bertahun mengabdi pada bangsa, mengajar anak-anak di pedalaman Sumatera belum pernah sekalipun ia diangkat menjadi PNS.


Sekolah roboh dan menjadi anak spesial yang masuk televisi dijadikan kesempatan oleh Burlian untuk memperjuangkan Pak Bin. Di hadapan wartawan ia ungkapkan semua keinginannya.

***

Kutaksir setting cerita karangan Tere Liye ini tahun 1980an. Televisi masih hitam putih dan hanya TVRI. Listrik belum sempurna masuk desa. Malam mereka cahayakan dengan canting-canting di rumah atau obor ketika akan pergi keluar. Seperti pulang-pergi mengaji di rumah panggung Nek Kiba.

***

Senin, 04 Desember 2017

My Hijab My Hijrah: Langkah Istiqamah Akhwat UTM

My Hijab My Hijrah: Langkah Istiqamah Akhwat UTM
Membaca My Hijab My Hijrah karangan akhwat UTM (Universitas Trunojoyo Madura) bagiku seperti kegiatan menambal lubang-lubang iman yang terkikis syubhat tak tentu arah. Charge yang selalu berfungsi meski telah membacanya berkali-kali. 

Memberikan pemahaman baru. Serta semangat untuk tetap istiqamah mempertahankan idealisme yang amat prinsipil. Jilbab yang sesuai syariat; menutup seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki, tebal tidak menerawang, tak serupa lelaki dan kerudung minimal menutup dada.

Mereka perempuan-perempuan hebat yang tetap tegar meski lingkungan atau bahkan keluarga menolak perubahan dengan sangat jelas. Bahlan ada akhwat yang rela dipukuli keluarganya demi mempertahankan jilbab.

Fenomena ini membuatku tersadar kita belum merdeka. Setidaknya dari sekitar. Kita tahu setiap orang memiliki haknya masing-masing, tapi masih saja ada yang tidak terima. Berjilbab memang diperbolehkan tapi ada sekolah yang melarang.

Buku-buku atau kisah semacam ini adalah penguat bagi kita; perempuan akhir zaman yang mengalami banyak fitnah dunia. Baju seksi yang menggoda iman para lelaki terlihat berseliweran di sana-sini.

Ketika kita memutuskan hijrah, terkadang semuanya berjalan tak sesuai dengan semestinya. Ada batu-batu kerikil yang menghalangi. Cerita ini adalah langkah wa tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabri.

Saling mengingatkan bahwa mereka pun mengalaminya. Perjalanan mereka pun tak mudah. Tapi mereka percaya ada Allah Sang Penolong, tempat mengadu yang selalu ada saban waktu. Pada janji-Nya mereka percaya. Surga yang menawan jiwa serta perjumpaan nan angung dengan Sang Maha.

Dan Allah akan menjadikan segalanya indah.

21 perempuan mengisahkan kisah hijrahnya di sini; My Hijrah My Hijrah. Dibawakan dengan mengharu-biru, menggelikan yang membuat sejenak kita tertawa dan senyum-senyum sendiri.

Baca dan temukan getar imanmu di sana!

***

Judul: My Hijab My Hijrah
Penulis: Ani Marlia, dkk
Halaman: 198 + XVIII
Penerbit: Minhaj Press
Editor: Tim Press 'n IT
Desainer Sampul: Insan Muplihah
Layouter: Shofia Asri


***

Buku dapat dibeli seharga Rp 42.000 dan dapatkan diskon sebanyak 20% dengan mencantumkan kode 'ISTQAMAH BERHIJRAH' pada pemesanan. Bisa diorder melalui nomor telepon genggam berikut ini: +62 857-3032-9959.

Jangan lupa sertakan kode uniknya agar kamu bisa menghemat pengeluaran berbelanja. Sisanya bisa ditabung untuk masa depan atau bersedekah untuk orang di sekitar.