Jumat, 18 Desember 2015

Dia Raisa atau Jasmine?

Jasmine, novel karya Riawani Elyta yang habis kubaca dalam waktu sehari. Wheuw, akhirnya! Setelah sebelumnya buku ini luntang-luntung ke berbagai kota. Dipinjam orang sebelum yang punya selesai membaca. Whoaa.

Novel ini melibatkan Dean, sang pembobol bank dan Jasmine si pelacur. Oke, itu nama yang indah dan disandingkan dengan profesi tak layak. Hihiiiy, jadi ingat di TV yang memberitakan hal serupa selalu saja menyebut nama mawar atau melati sebagai inisialnya. Padahal melati nama bunga bangsa. Sama derajatnya seperti sakura di Jepang.

Sebenarnya itu bukan nama asli. Hanya nama yang diberikan Luthfi, pengurus yayasan ODHA yang menemukan Jasmine. Gadis yang mengaku hilang ingatan.

Seorang ibu dengan kasus yang sama; anaknya terlibat dalam lokalisasi, mengira Jasmine adalah anaknya. In fact, gadisnya bernama Raisa (seperti nama penyanyi ya?). Dua gadis dengan ciri yang sama. Namanya Ibu Rowana.

Beberapa kali ia menemukan Jasmine kabur. Di rumahnya, yayasan dan di rumah sakit. Hmm, dan pada akhirnya ia menemukan kenyataan yang tak sesuai harapan.

Well, kisah yang unik dan menarik. Tentang keterlibatan satu dan lain hal. Mungkin itu yang membuat novel ini memegang juara dalam ajang lomba menulis Indiva.

Itu salah satu hal yang membuatku tertarik membeli novel ini. Kasus pembobol juga. Dan latar Jakarta-Batam.

Yang sangat disayangkan adalah kurangnya informasi mengenai kedua kota tersebut. Informasi tentang kuliner dan travelling tentunya. That I want, haha.

Sang penulis fokus terhadap konfliknya kurasa. Ada beberapa typo yang membuatku meliril nama editornya. Kata 'instink' tertulis berulang kali dengan model yang sama. Seharusnya jika ia adalah Bahasa Indonesia, it would be 'insting' itu sih yang aku lihat di dalam KBBI. Atau kalau ia English, harusnya 'instinct.'

Afterall, ada banyak diksi yang aku suka. Mungkin akan dibahas dalam tulisan tersendiri. That'a all my review ;)

Terlepas dari dia adalah Raisa atau Jasmine, aku suka endingnya. They live happy ever after. Eh, bukan ding. Pas epilog, kalimatnya terasa natural. Gue dapet feeling-nya. Udah gitu aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar