Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 2, begitu judul buku yang sempurna disusun H.B. Jassin di tahun 1948. Antologi yang berisi kumpulan sajak dan cerita karangan pujangga angkatan '45. Penyair favorit kita, Chairil Anwar hadir dengan 9 karya sastra pilihan. Aku yang fenomenal itu bahkan ada di urutan pertama yang tampil di hadapan pembaca.
Ada 21 pujangga yang ikut terangkum oleh H.B. Jassin. Jadi tak hanya Bung Chairil saja. Tercantum di sana Asrul Sani, Sakti Alamsyah, Abas Kartadinata dkk. Kesemuanya lelaki kecuali Siti Nuraini dan Samiati Alisjahbana. Itu perkiraanku saja. Menebak gender dari nama.
Penulis-penulis itu ditampakkan lengkap dengan biografi singkat sebelum pergelaran karya di dalam buku Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 2. Dari paparan H.B. Jassin yang tertera di sana lantas kutahu semua-muanya adalah orang berpendidikan.
Dan kebanyakan pujangga-pujangga kita alumni sekolah Belanda yang lahir di tahun 20-30an. Itulah mengapa banyak berpengaruh dalam sajak atau cerita yang mereka karang.
Jikalau Aku adalah puisi yang kusuka di antara lainnya, maka dari kalangan (bangsawan :p) prosa aku menikmati karya Abas Kartadinata. Tulisannya berjudul Tidak Bernama beralamatkan halaman 174-184. Berkisah dua anak kembar yang bercengkrama di dalam rahim sang ibunda.
Mereka berdiskusikan suara-suara yang datang di telinga. Tak hanya berdua, keping-keping darah yang ada di sekitar pun diajak bercengkrama. Hingga lahir mereka tetap tak bernama.
Aku pun tertegun dalam puisi Asrul Sani berjudul Surat dari Ibu. Puisi beralamatkan halaman 102 ini adalah sajak yang aku nyanyikan saat kelas VII SMP. Bu Sahliah, sang guru Bahasa membagi dan menyuruh kami mengkreasikanny dengan nada dalam kelompok-kelompok. Cara mengajar beliau selalu unik. Membuat kami semakin mencintai sastra.
Kembali pulang, anakku sayang
Kembali ke langit malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu, pagi hari."
Karya lainnya lebih banyak menceritakan zaman mencekam. Serdadu Belanda-Jepang yang masih berada di Indonesia hingga penyakit menakutkan, mematikan; TBC, terlihat biasa mondar-mandir di antara karya satu dan lainnya.
Masyumi turut menjadi topik menarik di dalam buku ini. Menyaingi kehadiran anggur dan perempuan. Ini pasti dikarenakan, this party very incredible at that time. Pengen baca banyak tentang Masyumi. Apalagi buku most-favenya Pak Rafif, kepala sekolah Reading Challenge bertemakan Masyumi. It makes me more curious about.
However, penulisan dan pilihan kata yang dipakai para penulis menjadi perhatian tersendiri. Tertulis di zaman perang dan pemulihan bangsa, diksi kata yang dipilih tak sama dengan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) yang kita kenal sekarang. Kita tahunya 'suster' tapi di halaman 178 dan 273 tertulis 'zuster'. 'Pulpen' di zaman itu familiar dengan 'vulpen'. Pun 'uang' yang banyak tersebar di sekian prosa masih terejakan 'wang'.
Puisi dan prosa yang terkumpul dalam Gema Tanah Air ini tak semuanya baru. Banyak yang sudah terpublikasikan. Di bagian akhir karya tertulis nama-nama media yang pernah memuat sebelumnya. Zenith, Mimbar Indonesia, Siasat, Panca Raya, dan Kisah di sanalah H.B Jassin memetik bibit-bibit bunga hingga jadilah kebun kekata bernamakan Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 2.
Antologi karya yang membuat pikiran kita lebih terbuka. Karena kita lebih tahu. Dengan karya penulis papan atas, selain menambah khazanah keilmuan, in this case sejarah bangsa, juga memperkaya diksi. Terlebih aku yang menyukai puisi.
***
Judul: Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 2
Penyusun: H.B. Jassin
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan: pertama - 1948, kesepuluh - 1993
Halaman: 278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar