Selasa, 25 April 2017

Merangkum Jejak Sang Pujangga (Chairil)

..karya sastra bisa sedemikian menakutkan bagi penguasa..

Belum sempat kutuntaskan Gadis Pantai, buku Chairil sudah di genggaman meminta kesudahan. Dua buku dengan sastra tinggi buatku. Namun ternyata Chairil lebih mudah dicerna maksudnya. Pun jika dibandingkan dengan skenario Aku. Mungkin karena penulisnya yang hidup di masa kini. 

Tercatat di awal buku, biografi ini adalah cetakan pertama tahun lalu; 2016. Pantas bukan, jika aku menyebutnya masa kini.

Buku terbitan Gagasmedia tersebut menurutku adalah biografi yang super-lengkap disbanding lainnya; buku-buku yang juga menyajikan hal serupa. Di daftar pustaka ada 48 rujukan yang menjadi sumber bagi Hasan Aspahani, sang penulis dalam meliarkannya ceritanya tentang Chairil.



Kehidupan Chairil
Karena sejatinya senjata para penyair adalah kata-kata


Chairil berasal dari keturunan konglomerat. Asli Medan yang kemudian merantau ke Batavia. Meski begitu orangtuanya rutin mengirimkan uang untuk kebutuhan Chairil. Pantas saja jika Chairil seringkali terlihat di pesta-pesta para bangsawan.

Sang Penyair hidup di kala bangsa masih dijajah Belanda dan Negeri Sakura. Tidak mengherankan jika karyanya banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitar. 

Sebagian puisinya bertuliskan kisah tentang perjuangan. Di buku Chairil kita juga menemukan Indonesia di masa lampau. Saat mendengarkan radio harus sembunyi-sembunyi. Kala sang penyair turut memiliki pistol di kantongnya. Selalu siap sedia untuk ditarik pelatuknya. Meski tak pernah dilakukannya. Karena sejatinya senjata bagi Chairil adalah kata-kata.

Keadaan itu otomatis memutus kiriman dari tanah kelahiran. Terlebih perang masih bergejolak. Chairil pun mulai menghidupi diri dengan puisi. Berpuisi pun tak boleh sembarangan. Karena karya yang masuk redaksi akan dikontrol ketat oleh tentara Jepang. Meski begitu, ia pernah tertangkap. Masuk penjara menjadi tahanan sang penjajah.

Honornya tak seberapa tapi cukup untuk buku tuk kembali mengasah pena. Kerjanya yang tentu tiap bulan mendapat gaji membuatnya diusir Hapsah, sang istri. Bersama buku-buku ia pun pergi ke rumah rekannya. Ya, penyair kita ini dituliskan tak pernah punya rumah. Ia tinggal alias menumpang di berbagai tempat; orang-orang yang ia sebut sahabat.


Sahabat Sekitar
Jassin, yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru.


Saudara, sahabat dan kenalan yang menjadi saksi perjalanan kepenyairan Chairil Anwar menjadi sumber utama selain buku-buku. Salah seorang sahabatnya, dikisahkan oleh Hasan Aspahani tentang Sal, Maria dan Sjahrir. 

Cerita yang hampir serupa dengan persahabatan Abu Darda’ dan Salman. Jika kau telah menamatkan Jalan Cinta Para Pejuang, pasti hafal betul kejadiannya. 

Baiklah akan kuceritakan perihal itu. Suatu saat Salman mengajak Abu Darda’ untuk menemaninya melamar seorang gadis. Sebagai seorang sahabat yang baik tentu saja beliau mengiyakan tawaran rekannya itu. Namun tanpa dinyana, setibanya di rumah sang gadis, pinangan Salman ditolak. 

Abu Darda’-lah ternyata kasih yang selama ini diidamkan oloeh sang gadis. Pekik takbir terelakan dari Salman. Semua mahar yang telah ia siapkan dengan ikhlas hati ia berikan untuk keperluan sahabatnya; Abu Darda’.

Bedanya Maria telah diperistri oleh Sal, namun demi melihat sahabatnya bahagia, dan ia tahu bahwa ternyata Sjahrir pun menaruh hati. Maka dilepasnya oleh Salomon Tas (p.47).

AM Chandra, Asrul Sani, Bohang si redaktur Pujangga Baru adalah nama-nama yang juga berada di sekitar Chairil Anwar. Melalui tangan Bohar-lah karya Chairil berhasil lolos dan terbit. Namun H.B. Jassin adalah sesosok rekan yang tak hanya mengarsipkan karya-karyanya namun juga berani berdebat dengannya.


Gairah Menganalisis
Sebab sebagai penyair, ia kita harapkan lebih banyak menembak dengan kata-katanya. Lewat puisi-puisi yang ia ciptakan. 


Perdebatan sengit antara Chairil dan Jassin yang terjadi di halaman 129 harusnya membuka pandangan baru bagi para penyair. Tentang keterbaruan. Tentang ekspresionisme. Katanya,

“Apakah kebagusan sebuah sajak itu diukur dari termuat atau tidaknya di majalah atau surat kabar? Bung, sajak yang baik itu menguji wawasan redaktur pengasuh sajak, bukan bukan mengikut mematut-matut dengan selera redaktur.”

Dalam buku ini berkali disebutkan tentang ekspresionisme. Banne des Expressionismus, buku dalam bahasa Jerman yang kerap kali dibaca Jassin. Seperti halnya Chairil, H.B. Jassin juga keranjingan buku-buku. Nah, paham ekspresionisme yang suka disebut-sebut itu menggairahkanku. Untuk segera memburu bukunya tentu saja, dan mulai mengaplikasikannya dalam karya sastra. Nganalisis lagi yuk! Jerman? Iya, kita akan bertemu prominent figure dari sana lagi. Wah kayak déjà vu dong.

Well, menamatkan buku Chairil laiknya bimbingan skripsi. Belajar menganalisis puisi.


Puisi Narasi Aspahani
Penyair takkan menjadi penyair jika ia tak menuliskan sajak-sajaknya.


Membaca narasi bernapaskan puisi. Menelusuri Chairil seperti mencicipi ribuan sajak. Penulis yang jago nyastra. Delapan buku tertulis di profil penulis. Di belakang buku.

Ada setidaknya delapan potong sajak yang kulahirkan berbarengan dengan membaca Chairil. Bisa saja itu dikarenakan gaya bahasa sang penulis yang amat puitis. Yang mungkin besar pengaruhnya dari biografi ini. Yang membuatku penaku gatal untuk menulis. Mau membaca mereka? Doakan saja, puisi-puisi itu terbit di koran dalam waktu dekat 

Terimakasih, Aspahani, telah menghadirhidupkan kembali puisi baru nan manis dalam sajakku.


Luka dan bisa kubawa berlari
berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.


Ya, kita lihat kini, Chairil masih bernyawa dalam puisi-puisinya meski raga telah berpulang di tanggal 28 April 1949.


10 komentar:

  1. suka quotenya,
    Penyair takkan menjadi penyair jika ia tak menuliskan sajak-sajaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibarat mimpi yang harus diperjuangkan dengan aksi.

      Hapus
  2. Puisinya Chairil selalu hidup sepanjang jamaan yaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Noe, seperti keinginannya. Hidup seribu tahun.

      Hapus
  3. kagum dengan pujangga di zaman perang yang bisa menyuarakan kemerdekaan lewat puisi-puisinya. Sosok Chairil Anwar masih melegenda hingga sekarang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena senjata perang tak hanya bedil dan bambu runcing. Sajak pun juga bisa yaa ^^

      Hapus
  4. Penyair yang meski telah mati, karyanya abadi.
    Semoga kelak karya2 kita pun akan selalu menginspirasi
    aku kurang memahami makna puisi kadang :-D kurang pinter hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, iya. Abadi lewat tulisan-tulisan kita. Aamiin.

      Hapus
  5. Sisa yang miris ya kisah saat diusir istrinya itu lho, semoga penyair zaman sekarang lebih sejahtera amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, iya, Mbak. Kurang dianggap gitu pekerjaan penulis di zaman dulu. Untungnya penyair kita ini, tak keberatan. Malah dengan bangga menuliskan profesinya sebagai writer.


      Yup. Semoga selalu dan bertambah sejahtera penulis di Indonesia. Pun di mata dunia. Aamiin.

      Hapus